Semua bermula dari perhelatan pernikahan sepupuku weekend lalu (26 Juli 2008 ) di kota Kasultanan Mangkunegara itu (CMIIW). Padahal saat turun menjejakkan kaki di Stasiun Balapan, tak terlintas sedikit pun di otakku untuk melakukan perburuan ini. Memang sudah ada ketakutan bahwa dietku mungkin agak terganggu karena harus dinner di pesta. Hanya itu. Namun semua berubah saat pesta dimulai dan  ternyata makanan yang disajikan sama sekali bertolak belakang dengan nama hotel yang menyajikannya. Saudara-saudaraku tak puas dan sudah bertekat cari makan sendiri setelah pesta. Tadinya aku malas. Tapi rencana untuk ke goa Maria di suatu daerah di Solo menggelitikku. Akhirnya, aku pun ikut. Apa daya… aku hanyalah manusia dewasa. Seperti yang telah bisa anda tebak, dari sini lah perburuan itu di mulai, dan .. aku hanya bisa berucap “There goes my diet!!” 😦

Rencana awal untuk makan Gudeg Ceker segera berubah ketika tahu bahwa gudeg itu baru buka jam 2 pagi. Kami, para cewek, pada mengerang. Malas rasanya membayangkan harus melekan sampai pagi begitu. Akhirnya, Hendri, sepupuku yang juga tuan rumah, membelokkan setirnya ke sebuah warung gudeg lainnya, Gudeg Bu Mari. Jangan tanya di mana lokasi tepatnya, aku benar-benar tidak tahu. Agaknya pemiliknya mengambil konsep playgroup untuk tatanan warung gudeg ini. Yaah, itu celetukanku ketika mendapati kursi-kursi mungil yang tersedia. FYI, keluargaku tuh standard internasional, alias GUEDHE-GUEDHE hehehe 😀 Dengan selembar uang sepuluh ribu, sepiring nasi yang dihiasi sebuah telor utuh, sayur gudeg, sambal krecek (lebar krecek 3 jari tangan), dan ayam suwir-suwir dimasak opor segera tersedia di hadapan anda. Nikmati dengan krupuk puli beras yang kriuk-kriuk. Hmm… sebentar saja sepiring gudeg tadi berpindah ke perut anda. Berbeda dengan gudeg lainnya, terutama gudeg Jogja ya naudzubilla manisnya, gudeg Bu Mari tidak manis. Gudegnya gurih sekali. Kurasa karena santan putihnya (haduh, aku lupa nama santa ini) yang begitu kental. Jadi, kalau anda suka gudeg versi Jogja, aku rasa gudeg yang satu ini bukan taste anda. Though, it’s definitely my taste 😀 Kalau ada yang berniat mencoba, jangan khawatir kehabisan; mereka buka 24 jam! Cuma ya tadi itu… aku tidak tahu ancer-ancernya hehe

Kenyang dengan gudeg malah membuat kami (tepatnya aku dan sepupu cewekku yang tertua,Tricia) merencanakan perburuan untuk esok pagi. Sesuai rencana, pagi hari, setelah ke gereja, kami berburu Serabi Natasuman. Kata Hendri tokonya buka mulai jam 5 pagi! Jadi, kami agak kebat-kebit, takut kehabisan. Apalagi ternyata perburuan ini harus di-pending sebentar karena papaku, yang nyetir, lupa jalannya. Dan akhirnya kami pun mampir sarapan dulu di depot Soto Kirana. Keputusan mampir di depot ini karena melihat ramainya pengunjung yang datang. Tapi ternyata soto Solo (atau mungkin lebih spesifik: soto Kirana ?) tidak sesuai dengan lidah Suroboyoku yang suka masakan berbumbu. Soto yang ini bumbunya sangat minim dan tipis. Satu lagi: Manis. Uuh, not too crazy bout it. Tapi sosis solonya enak sih hehe 😀

Selesai makan soto, akhirnya kami ketemu juga dengan toko Serabi Natasuman yang ASLI. Kami beli 60 buah. Kalau anda pikir itu banyak, anda salah! Reaksi pelayan toko itu saat kami membeli sejumlah itu adalah mengangkat alis, lalu bertanya, “Nggak kurang ?” Ternyata konsumen toko itu mayoritas membeli dengan jumlah mencapai tiga digit. Seorang pembeli sebelum kami mengeluarkan duit sekitar 250 ribu, padahal harga serabi itu hanyalah Rp 1600 untuk yang biasa dan Rp 1800 untuk coklat. Padahal (lagi) ukuran serabi itu juga tidak bisa dikatakan kecil, kira-kira sejengkal tanganlah. Tapi memang serabi Natasuman enak tenan, kok!! Tepiannya sangat tipis dan crispy, Santan kental yang dioleskan di tengah-tengahnya membuat serabi ini juicy, jemek-jemek gimana gitu. Selain itu tentu saja santan itu memberikan tendangan gurih yang tiada tara. Benar-benar yummy!! Lupa dengan diet, aku menghabiskan 4 serabi walau perutku masih kenyang dengan soto XD

Kenikmatan berikutnya kualami sekitar 5 jam setelah perutku mencerna serabi-serabi itu. Ayam Goreng Kreco. Sebenarnya hanya ayam goreng biasa, sih. Ayamnya, jelas ayam kampung, sepertinya diungkep dengan bumbu, lalu digoreng sreng. Sambalnya mantep walau khas Jawa Tengah, manis. Tidak terlalu istimewa, tapi bisa dikategorikan enak lah.

Perburuan berikutnya tentu saja oleh-oleh. Di mana lagi kalau bukan Orion. Tidak banyak yang kubeli, hanya roti bun khas Orion (sayang, yang coklat habis 😦 ), spiku, dan intip. Yang terakhir ini kesukaanku hehehe 😛 Setelah itu, meluncurlah kami keluar dari Solo.

Ya, perburuan makanan di Solo telah berakhir, tapi bukan berarti kenikmatan juga berakhir di situ. Sebenarnya kami agak kecewa karena tidak berhasil makan sate buntel depan Novotel, atau pun timlo, tonseng, dan tengkleng. Selain karena waktunya yang mepet, juga karena kami tidak mau mengajak papa makan kambing. Eh, tapi ternyata dalam perjalanan pulang papa malah mengajak makan gule kambing di Depot Mapan! Duuh… ya terpaksa, deh, dituruti (Halah! terpaksa-nya bo’ong banget ding 😛 ) Gule kambing Depot Mapan adalah gule encer, tapi bumbunya masih yummy. Harganya termasuk di atas rata-rata. Satu porsi 25 ribu. Tapi porsinya juga di atas rata-rata. BANYAK banget! Sop Kikil-nya juga enak. Berkuah kuning dan cukup kental.

Kenikmatan yang ditawarkan Depot Mapan lumayan jadi penawar kekecewaan kami. Tapi tetap… next time ke Solo, perburuan part 2 pasti akan dilaksanakan. Sate Buntel, Timlo, Tongseng, Tengkleng, Selat Solo… tunggu kedatanganku hahahaha *bergaya Pahlawan Bertopeng*